PortalMiliter | Mitra,-Kebun Raya Ratatotok kini berubah menjadi zona merah akibat aktivitas tambang ilegal (PETI) yang semakin merajalela. Area hutan lindung yang seharusnya dilindungi kini rusak parah, dan diduga kuat ada pembiaran dari pihak pemerintah daerah.
Ketua Umum LSM Garda Timur Indonesia (GTI), Fikri Alkatiri, menilai kerusakan tersebut tidak bisa hanya disalahkan kepada para pelaku tambang, melainkan juga kepada instansi terkait seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Sekretaris Daerah (Sekda), dan Bupati Minahasa Tenggara yang dianggap gagal menjalankan tanggung jawab pengawasan.
kebun raya ini dilindungi oleh hukum di Indonesia, terutama melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2023 yang mengatur penyelenggaraan, pengelolaan, dan pengawasan kebun raya, serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mengatur konservasi secara umum. Hukum ini memberikan perlindungan untuk fungsi utama kebun raya, seperti konservasi, penelitian, pendidikan, wisata, dan jasa lingkungan.
> “Ini bukan lagi ranah penyelidikan, tapi sudah jelas-jelas pelanggaran hukum. Kebun Raya Megawati di Ratatotok hancur oleh aktivitas tambang ilegal, dan pemerintah daerah seolah tutup mata,” tegas Fikri.
Fikri juga mendesak Polda Sulawesi Utara untuk segera memeriksa adanya dugaan setoran atau penyuapan yang membuat DLH terkesan diam dan tidak mengambil langkah tegas dalam menjaga kawasan hutan yang menjadi aset lingkungan penting bagi Kabupaten Minahasa Tenggara.
> “Kalau DLH tidak bergerak, ini patut dicurigai ada permainan. Kami meminta aparat penegak hukum menindak siapa pun yang terlibat dalam pembiaran kerusakan ini,” tambahnya.
Dasar Hukum Terkait PETI (Pertambangan Tanpa Izin)
Aktivitas pertambangan tanpa izin (PETI) melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Dalam Pasal 158 UU Minerba disebutkan:
> “Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin usaha pertambangan (IUP), izin usaha pertambangan khusus (IUPK), atau izin lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Selain itu, tindakan pembiaran oleh pejabat publik terhadap aktivitas ilegal dapat dijerat dengan Pasal 421 KUHP tentang penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara, serta Pasal 55 KUHP tentang turut serta melakukan kejahatan.
LSM GTI menegaskan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas, dan meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Polda Sulut segera turun tangan menertibkan dan menindak para pelaku tambang ilegal serta pihak yang melindungi mereka.
> “Kami tidak akan berhenti sampai hukum benar-benar ditegakkan. Negara tidak boleh kalah oleh mafia tambang,” tutup Fikri.


